Derita Warga Somalia di Tengah Ramadan
Sedianya bulan Ramadan adalah bulan suka cita berhari raya. Berbuka puasa di bulan ini berarti banyak makanan dihidangkan di atas meja. Mulai dari manisan sampai lauk pauk siap disantap seluruh anggota keluarga.
Namun, keriaan ini agaknya jauh dari menghinggapi para warga Somalia, baik di tanah air mereka maupun di pengungsian di negara tetangga. Betapa tidak, bencana kelaparan akibat kemarau panjang dan perang saudara membuat mereka tidak memiliki apapun untuk dimakan.
Lapar mereka bukanlah karena berpuasa, namun derita keseharian yang harus ditanggung. Beberapa memilih menjalankan ibadah puasa dalam keadaan nelangsa, beberapa lagi merasa puasa terlalu berat.
Seperti halnya Salad Salah, warga Somalia di Mogadishu. Menurutnya, berpuasa pada bulan ini berarti bunuh diri. "Kami tidak ingin melewatkan Ramadan, namun kondisi di sini yang mengharuskan demikian," ujar Salah, dikutip dari laman Associated Press, Senin, 1 Agustus 2011.
Seorang lainnya, Mohamed Mohamud Abdulle, mengatakan memilih tidak puasa. Dia mengaku tidak memiliki makanan dan minuman untuk menghilangkan lapar dahaga ketika azan magrib berkumandang.
"Bagaimana saya bisa puasa kalau tidak punya apapun untuk makanan berbuka. Semua keluarga saya kelaparan dan saya tidak punya apapun untuk mereka makan," kata Abdulle di pengungsian di Kenya. Untuk ketempat ini, warga Somalia harus berjalan kaki selama berhari-hari di tengah terik.
PBB bulan lalu menetapkan Somalia sebagai negara dengan krisis kelaparan. Sebanyak 80 persen anak di Somalia menderita kekurangan gizi, 30 persen di antaranya dalam keadaan akut. Sedikitnya 20 persen keluarga di negara ini menderita kekurangan pangan yang ekstrem. Angka kematian akibat kelaparan meningkat menjadi dua orang per 1.000 kepala per harinya.
Krisis yang terjadi di Somalia adalah hasil dari setumpuk masalah: perubahan iklim, naiknya harga pangan, dan ketidakstabilan negeri selama beberapa dekade. Naiknya harga pangan semakin melonjak pada bulan Ramadan, membuat rakyat Somalia semakin tercekik.
Seorang lainnya, Mohamed Mohamud Abdulle, mengatakan memilih tidak puasa. Dia mengaku tidak memiliki makanan dan minuman untuk menghilangkan lapar dahaga ketika azan magrib berkumandang.
"Bagaimana saya bisa puasa kalau tidak punya apapun untuk makanan berbuka. Semua keluarga saya kelaparan dan saya tidak punya apapun untuk mereka makan," kata Abdulle di pengungsian di Kenya. Untuk ketempat ini, warga Somalia harus berjalan kaki selama berhari-hari di tengah terik.
PBB bulan lalu menetapkan Somalia sebagai negara dengan krisis kelaparan. Sebanyak 80 persen anak di Somalia menderita kekurangan gizi, 30 persen di antaranya dalam keadaan akut. Sedikitnya 20 persen keluarga di negara ini menderita kekurangan pangan yang ekstrem. Angka kematian akibat kelaparan meningkat menjadi dua orang per 1.000 kepala per harinya.
Krisis yang terjadi di Somalia adalah hasil dari setumpuk masalah: perubahan iklim, naiknya harga pangan, dan ketidakstabilan negeri selama beberapa dekade. Naiknya harga pangan semakin melonjak pada bulan Ramadan, membuat rakyat Somalia semakin tercekik.
Kekurangan makanan memaksa warga Somalia mengungsi ke negara tetangga, Ethiopia dan Kenya. Saat ini di Kenya telah ada 400.000 pengungsi Somalia, padahal kamp pengungsi hanya mampu menampung 90.000 orang.
Kendati kelaparan melanda, beberapa warga Somalia tetap taat beribadah. Dengan keyakinan akan Tuhan, mereka menahan lapar berpuasa. Walaupun berbuka dengan makanan lengkap masih menjadi angan-angan yang belum pasti.
"Sangat sulit bagi saya untuk puasa, tapi saya berpuasa karena takut akan Tuhan," kata Aden, ibu dari tiga anak yang berada di pengungsian di Kenya.
Bantuan terus berdatangan dari badan pangan PBB dan organisasi internasional lainnya. Amerika Serikat telah mengumumkan akan mengucurkan dana sebesar US$28 juta (Rp239 miliar) untuk warga Somalia. Warga-warga Somalia di luar negeri juga mulai mentransfer bantuan mereka kepada para ketua adat, jumlahnya mencapai ratusan dolar. Tidak banyak, tapi cukup membantu beberapa kepala keluarga melanjutkan hidup mereka.
"Kami telah meminta semua Muslim untuk membantu mereka yang kelaparan. Muslim tidak bisa diam saja dalam situasi seperti ini, Insya Allah kami akan membantu," ujar Sheik Ali Sheik Hussein, seorang pemimpin mesjid di Mogadishu.
Kendati kelaparan melanda, beberapa warga Somalia tetap taat beribadah. Dengan keyakinan akan Tuhan, mereka menahan lapar berpuasa. Walaupun berbuka dengan makanan lengkap masih menjadi angan-angan yang belum pasti.
"Sangat sulit bagi saya untuk puasa, tapi saya berpuasa karena takut akan Tuhan," kata Aden, ibu dari tiga anak yang berada di pengungsian di Kenya.
Bantuan terus berdatangan dari badan pangan PBB dan organisasi internasional lainnya. Amerika Serikat telah mengumumkan akan mengucurkan dana sebesar US$28 juta (Rp239 miliar) untuk warga Somalia. Warga-warga Somalia di luar negeri juga mulai mentransfer bantuan mereka kepada para ketua adat, jumlahnya mencapai ratusan dolar. Tidak banyak, tapi cukup membantu beberapa kepala keluarga melanjutkan hidup mereka.
"Kami telah meminta semua Muslim untuk membantu mereka yang kelaparan. Muslim tidak bisa diam saja dalam situasi seperti ini, Insya Allah kami akan membantu," ujar Sheik Ali Sheik Hussein, seorang pemimpin mesjid di Mogadishu.
Sumber. http://dunia.vivanews.com/news/read/237530-derita-warga-somalia-di-tengah-ramadan
0 comments:
Post a Comment